Rabu, 23 Juni 2010

RESTU SANG SUAMI

Januari 2003

Saya masih bingung untuk mengambil tawaran menjadi Duta Anti-Trafficking. Meski Vira dari International Centre for Labour Solidarity (ACILS) sudah mempromosikan gila-gilaan, mulai dari training dan visits ke lapangan untuk mendapatkan gambaran yang sejelas-jelasnya tentang fakta tentang trafficking, lalu aku dijanjikan akan diberikan simulasi khusus untuk melakukan kampanye, pidato dan juga komunikasi dengan berbagai media yang akan dilatih langsung oleh pakar media dari Amerika, toh saya tetap belum bergeming.

Mampukah aku mengemban tugas sebagai Duta Anti-Trafficking?

Entah seperti bisa membaca pikiranku, James Davis juga berusaha meyakinkanku bahwa aku mampu mengemban tugas mulia itu. Oalah! Anyway, siapa pula James Davis? Dia itu adalah penasehat dari International Labour Organization (ILO) alias Organisasi Buruh di Amerika sana.

Dengan bahasa Indonesia yang terbata-bata, David berkata, ”Soal waktu, jangan khawatir mbak Hughes. Kami akan datang untuk diskusi dengan mbak, satu minggu sekali. Masing-masing selama dua jam."

Yang dimaksud diskusi adalah membicarakan soal trafficking ini. Ya supaya saya semakin mengerti dengan persoalan trafficking. David pun berjanji, beberapa teman dari organisasi buruh dan organisasi perempuan akan dengan senang hati memberikan tutorial khusus padaku.

"Mbak boleh tentukan sendiri kapan punya waktu luang dan tempatnya mbak tentukan sendiri," ujar David.


Aku bersama Ibu Sumarni, Deputy Menteri Perlindungan Anak


Wah, enak juga ya? Aku makin diberi kemudahan.

Lanjut David, kegiatan menjadi Duta Anti-Trafficking ini memang murni kegiatan sosial dan pengabdian untuk negara. Jadi mereka tidak menganggarkan budget. Namun khusus untuk tahun 2003 ini, mereka mempersiapkan budget untuk mendanai perjalanan dan kampanye dari satu tempat ke tempat, termasuk sampai ke wilayah perbatasan Indonesia.

"O, begitu ya?" jawab saya menanggapi penjelasan David.

Aku masih duduk manis dan berfikir keras. Aku melirik pada suamiku yang saat ngobrol dengan David duduk di sebelahku. Aku menunggu reaksi suamiku. Positifkah atau malah negatif.

Terus terang, setiap kali mendapatkan job aku selalu bertukar pikiran terlebih dahulu pada suamiku. Bukan karena aku takut suami, lho. Bukan. Sebagai istri aku selalu menghargai suami. Meski bisa saja aku putuskan sendiri, tetapi buatku dalam sebuah rumah tangga harus ada yang namanya saling menghargai, apalagi konon seorang suami sangat merasa terhormat kalau sang istri minta saran atau pendapat.

”Kenapa Hughes mbak?" tiba-tiba suamiku bertanya pada mbak Vira. "Kan banyak presenter lain yang juga berpotensi mengemban tugas ini?”

Saya melihat, sebelum menjawab pertanyaan suamiku, Vira tersenyum. Senyumnya seperti ingin meyakinkan pada diri suamiku, bahwa aku adalah presenter yang tepat untuk menjadi Duta Anti-Trafficking ini. Sebab...

"Penunjukan Dewi Hughes menjadi Duta Anti-Trafficking ini sudah melalui proses yang lumayan panjang mas," ujar Vira. "Ada 13 nama selebriti yang direkomendasi oleh LSM, aktivis anak, dan perempuan, para pakar, dan kementrian. Lalu kami melakukan proses penyaringan dan tinggal 3 nama. Nama mbak Hughes ada di urutan pertama, karena latar belakang pendidikan dan kegiatan sosialnya yang selama ini selalu berhubungan dengan perempuan dan anak. Ditambah lagi, kami punya harapan yang besar pada mbak Hughes untuk bisa merangkul orang di pelosok tanah air dengan metode komunikasi yang tepat sasaran. Kami pikir mbak Hughes tepat, karena bisa diterima oleh semua kalangan."

Penjelasan Vira di atas itu membuatku tersanjung. Betapa tidak, ternyata penunjukan sebagai Duta Anti-Trafficking bukan main-main dan asal tunjuk, tetapi sudah melewati tahap penyeleksian.

"Apa yang terjadi kalau Hughes menolak?" tiba-tiba suamiki beratnya lagi.

Aku kaget dengan pertanyaannya. Kok, sinyalnya seperti suamiku tidak merestuiku jadi Duta Anti-Trafficking ya? Ah, tetapi kecurigaanku bisa jadi salah. Suamiku pasti cuma hendak menguji kesungguhan Vira dan David.

"Kami akan pindahkan tugas ini kepada selebriti di urutan kedua," kata Vira. "Tentu saja kami tidak bisa memaksa. Meskipun begitu, kami sangat berharap mas juga bisa ikut mendukung program ini, dengan memberi suport kepada mbak Hughes."

Aku melirik lagi ke suami. Berharap dia akan mengizinkanku mengikuti proyek menjadi Duta Anti-Trafficking ini. Apalgi melihat antusiasme teman-teman yang hadir di diskusi siang itu, aku jadi tidak tega untuk mengatakan tidak. Lagi pula apa salahnya aku keluar sejenak dari my comfort zone dan membuka diri untuk sesuatu yang baru? Toh aku tetap punya kebebasan untuk mengatakan tidak kalau nantinya aku pikir tidak sanggup. Bahkan di tengah training kalau aku tidak ingin melanjutkan pun mereka akan terima. Lagi pula sudah sangat lama aku tidak bergaul dengan dunia luar.

Namun sekali lagi, aku sangat menghargai suamiku. Aku boleh punya keinginan, namun suamiku pasti punya pemikiran. Kalau suamiku tidak mengizinkan, aku menghargai itu. Pasti ada pemikiran lain kenapa suamiku tidak mengizinkan aku ikut proyek ini. Meski pasti akan kecewa, tetapi aku bisa menerima.

What happend next?

Suamiku tesenyum. Matanya seperti menerobos ke mataku dan memberikan sinyal positif, dimana getarannya sampai ke hatiku. Saudaraku, aku bersyukur, suamiku akhirnya merestuiku. Momentum itulah yang membuat semakin bersemangat menjadi Duta Anti-Trafficking.

"LET"S DO IT!"

(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.