Minggu, 27 Juni 2010

NATION VON KULI, NEGARANYA PARA KULI

Februari, 2003
Medan – Sumatra Utara


Ini kisahku saat diajak menyaksikan korban kekerasan oleh majikan. Korban yang berprofesi sebagai pembantu rumah tangga (PRT) ini menderita luka yang mengakibatkan kerusakan pada seluruh alat reproduksinya.

Aku menyaksikan ia terbaring di rumah Sakit di Medan. Ia menangis saat aku datang dan minta aku memeluknya. Dalam pelukan, ia terisak lama sekali dan bercerita tentang trauma dan ketakutan yang luar biasa atas perbuatan majikannya. Anda tahu, saking tersiksanya, ia nekad melompat dari lantai tiga gedung apartemen untuk bisa selamat. Itulah yang membuat tulang keringnya patah.


Kekesaran terhadap TKI menyebabkan mereka jadi korban (foto dok. google)

Aku tidak menyangka ia akan bercerita sedetail itu. Ketika aku tanya apa yang bisa aku bantu untuk bisa menghibur hatinya, gadis manis bertubuh kurus ini bilang, ingin minta dibelikan cokelat silverqueen. Kebetulan aku memang suka cokelat. Makanya beruntunglah masih ada sepotong cokelat di dalam tasku.

"Maaf, cokelatnya tinggal setengah," kataku pada gadis yang sedang tiduran di ranjang rumah sakit itu. "Nanti kak Hughes belikan lagi yang baru ya?"

Ia mengangguk dan kemudian tertawa. Begitu aku memberikan sepotong cokelat itu, ia langsung menyantap coklat dengan lahap. Persis seperti orang yang sudah 3 hari tidak makan. Duh, senangnya aku bisa berbagi.

Cukup lama juga aku berkunjung ke PRT korban majikan ini. Aku pun kemudian pamit pulang. Ketika hendak pulang, aku cium pipi gadis itu dan mengajaknya berdoa.

Sambil berjalan meninggalkan gadis itu, aku sempat berpikir, kisah penderitaannya pasti belum berakhir. Ia masih akan menempuh perjalanan dengan mobil sangat jauh ke pedalaman dan berjalan beberapa kilometer, menuju kampung halamannya yang berada di balik bukit. Kasihan sekali bukan? Dan ia pun belum tahu apakah keluarganya masih bisa menerima ia kembali ke rumah?

Menurut teman-teman aktivis, banyak keluarga merasa malu ketika harus menerima kembali anak gadisnya yang dianggap gagal di negeri orang, apalagi jika sampai ternoda. Sungguh menyedihkan bukan?



Wajah-wajah para TKI. Mereka tidak tahu nasibnya akan seperti apa kelak (foto dok. google)

Aku tidak tega melihat gadis malang ini lunglai terbaring. Belum jauh dari tempat tidur, saat aku melangkah pamit, tiba-tiba dia duduk dan langsung berdiri.

"Kak, terimakasih kakak sudah mau jauh-jauh datang kemari. Siapalah aku ini, perempuan tidak ada harganya kalau seperti ini. Tapi kakak baik sekali sama aku. Sekarang aku sudah sembuh dan sudah tidak putus asa lagi. Aku mau antar kakak ke pintu depan.”

Kami berpelukan dan menangis.

"Jalan hidup tidak selalu tanpa kabut," kata saya. "Tapi percayalah, sehabis hujan pasti akan datang pelangi. Sehabis pelangi akan ada terang, mendung, dan hujan lagi. Tapi pelangi itu pasti datang lagi. Coba bayangkan kalau hidup Cuma berisi hujan terus pasti kita kebanjiran dan mati terendam air. Tapi kalau panas terus juga kan kita jadi kekeringan dan juga bisa mati. Begitulah hidup, harus silih berganti. Jadi bersemangatlah, karena Tuhan selalu bersama kita, Dia dekat meskipun kita merasa Dia jauh."

Di luar dugaanku, perjalananku lewat diskusi-diskusi dengan teman-teman aktivis, membuatku mampu melihat dunia lain. Dunia yang sebenarnya tidak jauh di depan wajahku.

Seperti saat aku pergi umroh, seorang TKI menangis. Dengan baju hitam yang basah, ia menangis tidak bisa meninggalkan airport, karena tidak memiliki pasport. Ia menangis mencari orang Indonesia di Airport Jeddah, untuk bisa menyelamatkannya dari sang majikan yang jahat dan tidak pernah membayar gajinya.

TKI itu kabur dan berniat meninggalkan Saudi Arabia. Namun pasportnya ditahan oleh majikannya. Setelah berhari-hari di airport, kami berjumpa dengan perempuan berusia 25 tahun ini. Dengan berusaha sekuat tenaga, aku berhasil membantunya pulang.

Meski pulang, TKI ini pulang dengan tangan kosong. Seperti yang sudah aku jelaskan, bekas majikannya tidak pernah menggajinya. Itulah yang membuat rasa malu TKI itu berjumpa dengan keluarganya. Anehnya, kejadian yang mengenaskan itu biasanya tidak membuat para TKI kapok untuk mencoba lagi untuk bekerja di luar negeri kalau ada kesempatan. Saya maklum, mereka berasal dari desa dan keluarga miskin. Kemiskinan membuat mereka terpaksa melupakan kisah-kisah menyedihkan yang dialami oleh TKI-TKI lain atau bahkan dirinya sendiri.

Berbeda jauh dengan TKI yang sempat saya jumpai di dalam pesawat. Di sebuah penerbangan pesawat, ada dua TKI yang naik di kelas binis. Mereka nampak asyik bercengkrama. Kaki mereka dibiarkan nagkring di kursi. Persis seperti orang yang sedang makan nasi di warteg. Aku lihat dua TKI ini mengenakan gelang emas dan kalung emas. Gelang-gelang itu terdengar gemerincing saat mereka bercengrama.

Itulah sisi lain dari TKI yang berhasil. Memang tidak sedikit yang berhasil seperti dua TKI di atas itu, dimana mereka tidak menjadi korban trafficking. Mereka bisa pulang ke desa dengan membawa hasil yang luar biasa. Selain barang-barang mahal seperti emas, mereka juga membawa uang yang akan mereka pergunakan untuk membangun rumah, membeli ladang, atau bahkan menjadi agen untuk mengajak kerabat atau tetangga yang lain berangkat kerja ke luar negeri.


Seringkali tergiur jadi TKI, karena urusan uang. Begitu sampai di negeri orang, diperlakukan tidak wajar. Menyedihkan bukan? (foto dok. google)

Jika ada penduduk kampung yang miskin tergiur dengan keberhasilan "senior-seniornya" (para TKI yang berhasil), calon TKI pasti akan mengikuti jejak menjadi TKI juga. Mereka tergiur iming-iming kerja enak dengan gaji besar. Tidak heran, banyak anak yang masih berusia dini dan perempuan yang berangkat mengadu nasib. Hasilnya, karena minimnya pengetahuan dan keterampilan lagi-lagi orang Indonesia hanya bisa jadi pembantu di negeri orang. Aku jadi ingat kata-kata Presiden RI pertama Bung Karno, yakni Indonesia itu nation von kuli atau negaranya para kuli.

Maksud Bung Karno itu, mereka itu rela meninggalkan tanah air yang subur dan bersahabat, yang menjadikan mereka merdeka dan bermartabat di negeri sendiri, demi meraup dolar. Memang sih mereka dianggap sebagai "pahlawan devisa". Tapi haruskah mereka tinggalkan suami dan anak mereka di desa? Kenapa tidak suaminya saja yang berangkat? Kenapa malah suaminya tinggal di desa, lalu tinggal menerima uang kiriman dari sang istri yang bekerja di luar negeri itu? Bahkan tidak jarang aku temukan suami menikah lagi dengan alasan istri jauh. Kata mereka (para suami yang menikah itu), toh, diperbolehkan oleh agama? Enak sekali!

Ah, pikiranku berkecamuk. Aku tidak ingat lagi berapa kali aku menangis. Aku juga tidak ingat berapa kali sudah minum obat sakit kepala dan muntah-muntah. Kasihan sekali perempuan-perempuan itu. Ini benar-benar diluar dugaanku.

(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.