Rabu, 11 Agustus 2010

PELAJARAN DARI PUTRA

Aku belajar mengasihi dari kekasihku
Aku memahami ketulusan dan kekuatan kasih dari anakku, malaikat kecilku
Dan aku memahami ketegaran dan perjuangan hidup tanpa mengeluh dari Ibuku


Sehari menjelang bulan Ramadhan, saya dan team liputan tvOne mengunjungi Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tangerang. Kebetulan selama bulan Ramadhan ini, saya dikontrak tvOne untuk mengisi segmen Opini Berbagi. Nah, di episode ini, saya menggunjunhi RSUD untuk menjumpai Putra. Ia adalah pasien berusia 14 tahun yang terkapar lunglai di tempat tidurnya, karena telah didiagnosa menderita kanker tulang ganas.




Saat ini kanker tulang atau osteopascoma memang banyak menyerang anak dan remaja usia 10-12 tahun. Ada yang beranggapan kanker tulang merupakan penyakit yang diturunkan. Ada pula yang menganggap kanker tulang ini sebagai penyakit kutukan, mungkin karena kasusnya relatif jarang terjadi. Tetapi bagaimanapun, sangat lebih baik jika kita sedikit banyak mengetahui perihal kanker tulang ini. Namun, analisa medisnya, penyebab penyakit ini diduga karena pola makan yang tidak sehat.

Biasanya kanker tulang muncul di bagian atas atau bawah lutut. Namun karena kanker sudah menjalar, maka kebanyakan penderita harus segera diamputasi. Ini pun dialami oleh Putra yang saya temui di RSUD Tanggerang ini. Beberapa hari lalu, ia harus menjalani operasi pemotongan seluruh kaki kirinya. Sebelumnya dokter sempat mengingatkan, bahwa kondisi operasi 50:50. Artinya, kemungkinan gagal bisa terjadi. Bila mengalami kegagalan operasi, risikonya kematian. Miris sekali mendengarnya bukan?

Menurut dokter ahli bedah, sebelum dilakukan operasi, biasanya dilakukan kemoterapi. Hal tersebut dilakukan, supaya tumor mengecil. Kemoterapi ini lumayan manjur untuk membunuh sel tumor yang sudah mulai menyebar. Jika belum terjadi penyebaran ke paru-paru, maka angka harapan hidup si pasien mencapai 60%. Bahkan sekitar 75% penderita bisa bertahan hidup sekitar 5 tahun setelah kanker tulangnya terdiagnosis (silahkan baca: http://artikelkesehatanq.blogspot.com/).






Siang itu, dengan diantar suster dan security, saya tiba di kamar tempat Putra dirawat. Saya melihat kondisi Putra begitu memprihatinkan. Sangat kurus, bagai tulang berbalut kulit. Saking kurusnya, kedua bola matanya terlihat seperti sangat besar. Namun dengan kondisi seperti itu, saya bersyukur sekali, kehadiran saya menyuntikkan semangat padanya. Ini saya simpulkan dari matanya yang berbinar-binar ketika memandang saya. Meski kemudian saya terperanjat, begitu tahu baru Putra baru saja diamputasi. Yap! DIA KEHILANGAN KAKINYA!

Dia mengulurkan tangannya. Tersenyum. Lalu ia mencium tangan saya. Sungguh mengharukan sekali. Saya kemudian mendekat, mengusap rambutnya yang basah oleh keringat. Maklumlah, ruang perawatan rumah sakit ini tidak dipasang penyejuk udara, tetapi menggunakan fasilitas ala kadarnya.

”Bagaimana kabarmu? Apa yang kamu rasakan?” tanya saya pelan, seperti sesorang tengah berbisik.

”Saya baik-baik saja,” jawab Putra pelan.

”Operasinya berjalan lancar ya? Kamu sempat takut atau cemas?” bisik saya lagi.

”Saya tidak takut. Saya berserah diri pada Allah, karena Allah adalah Tuhan saya,” tutur Putra. “Bude bilang, Tuhanlah yang menentukan hidup saya, bukan dokter. Jadi saya percaya pada Tuhan.”

Saya terenyuh mendengar penjelasan Putra. Rasanya air mata ini ingin menetes.

”Apa yang kamu minta kepada Tuhan?” pancing saya.

”Saya bilang, Tuhan saya mau hidup!”

Saya seperti tersedak. Bagaimana mungkin ia bilang baik-baik saja? Ada bercak darah masih menodai seprei dan kaosnya. Saya melihat itu. Saya juga meihat, hanya ada satu kaki yang tersisa dan ia terlihat sangat lemah. Bagaimana bisa anak sekecil ini mengatakan kepada diri, pikirannya, tubuhnya, jiwanya, kalo ia mau hidup? Sungguh luar biasa!

“Kamu hebat Putra!” puji saya. “Tante Hughes salut deh sama kamu. Tadinya, tante pikir ke sini mau menghibur kamu, tetapi teryata malah hati tante yang terhibur.”




Barangkali memang begitu kali ya? Setiap hari, setiap hembusan nafas, setiap langkah baik yang menurut kita enak dan nggak enak, secara pasti membawa kita pada kebaikan. Bukankah hidup harus seimbang? Ada siang, pasti ada malam. Ada besar, pasti ada yang kecil. Ada anak yang punya orangtua, ada pula yang yatim piatu. Ada yang orang miskin, ada orang kaya. Ada yang datang, tentu ada yang pergi. Begitulah keseimbangan. Sepertinya kok ngga sesuai dengan yang kita inginkan ya?

Tapi begitulah alam semesta. Alam yang membuat semua menjadi seimbang. Seperti kalo kita mau mengisi air ke dalam gelas. Kalo di gelas itu ada airnya, tentu nggak akan bisa kita isi. Jadi harus dikosongkan dulu, baru kemudian nanti diisi dengan air yang lebih baik. Begitu pula dengan sahabat baru saya, Putra. Harus ada yang ia ikhlaskan hilang dari tubuhnya. Namun yakinlah ada kebaikan lain sebagai penyeimbang yang akan datang buatnya.

Dia tersenyum. Mengangguk pelan. Dia tampak tenang sekali. Ah, rupanya penjelasan saya itu cukup dimengerti oleh Putra. Syukurlah kalo begitu.

“Putra mau makan yang banyak supaya cepat pulih kan?” tanya saya.

Putra mengangguk. Lagi-lagi sambil tersenyum.

Oh iya, saya juga belajar tentang satu rahasia lagi atas kesembuhan Putra, dimana harusnya kita syukuri dan nikmati dengan penuh sukacita. Satu hal yang Tuhan sudah siapkan buat kita itu adalah oksigen. Ia selalu kita ambil dengan gratis, tetapi banyak yang tidak bersyukur.




“Kamu pernah dengar ngga ada orang meninggal gara-gara ngga makan 2 hari atau 1 minggu?” tanya saya seraya memancing.

Putra menggeleng serius.
”Tapi kamu pernah dengar ngga ada orang yang bisa bertahan hidup meski tidak bernafas selama 3 menit aja?” pancing saya lagi.

Putra menggeleng lagi. Wajahnya masih serius.

Pertanyaan saya kemudian dimengerti oleh Putra. Bahwa ada sari kehidupan pada oksigen yang diberikan Tuhan pada ummatnya. Oleh karena itu, mumpung gratis, hirup oksigen sebanyak-banyaknya. Yakinkah oksigen yang kita hirup, mampu membantu kesembuhan kita.

Rasakan oksigen masuk ke paru-parumu. Kemudian merambat ke jantung, lambung, ginjal, otak dan juga kebagian tubuhmu yang sakit. Selagi menghirup, katakan: aku menghentikan kanker ini menjalar pada setiap tarikan nafasku! Rasakan perubahannya, pasti kita akan sembuh dari penyakit. Namun tentu saja ditambah dengan doa kepada Tuhan sebagai pemberi kehidupan.

Itulah hakekat hidup. Bahwa saya melihat kekuatan pikiran dan jiwanya dapat mengalahkan ketakutan, termasuk dalam kegagalan operasi dan kesakitan setelah operasi. Itu pelajaran yang saya dapat dari Putra. Anak muda ini memang sangat dahsyat!.

Saya belajar suka cita dan kekuatan pikiran dari Putra. Saya memetik sukacita, perasaan bahagia yang tak terperi. Sebuah energi yang sangat kuat, yang Putra kirim kepada saya. Saya merasa seperti handphone yang baru di-charge.



Ternyata benar. Kita menarik apa yang kita yakini dalam batin kita. Setiap kondisi, setiap orang, dan setiap situasi yang kita tarik dan kita alami, berasal dari apa yang ada dalam batin kita. Mungkinkah kita meminta sistem yang lebih hebat daripada sistem ini? Ini mengingatkan saya pada tulisan pada buku The Secret:

Hidup kita adalah cerminan dari apa yang kita yakini dalam batin kita, dan apa yang kita yakini dalam batin kita selalu dibawah kendali kita”.

Sengaja saya menulis kisah ini agar selalu ingat bagaimana Putra telah mengajari saya tentang rasa syukur dan suka cita. Malam hari, saya tersenyum sepanjang malam, over excited, dan tidak bisa tidur saat mengingat pertemuan saya dengan Putra yang luar biasa itu. Besok saya mau berkunjung ke rumah sakit lagi. Ada ‘tetangga’ Putra yang minta ditengok. Saya yakin, akan ada pelajaran yang berharga lagi yang akan saya dapat dari kunjungan besok.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.