Kamis, 24 Juni 2010

DEBT BOUNDAGE DI PENAMPUNGAN TKI

Minggu ke-2, Januari 2003

Setelah menyangupi untuk menjadi Duta Anti-Trafficking, aku langsung melakukan aktivitas. Aktivitas di hari pertama adalah menonton film kejahatan trafficking. Film yang aku tonton itu berkisah tentang sebuah kejahatan yang mengorbankan begitu banyak anak-anak perempuan.

Saat menonton, aku sempat menangis, bahkan sempat muntah, karena adegan–adegan yang digambarkan di film itu sungguh tidak bisa aku terima dengan akal sehat. Sangat kejam dan tidak manusiawi.


(Sumber foto: dok. google)

Setelah pemutaran film, biasanya dilanjutkan dengan diskusi. Dalam setiap diskusi ada korban yang hadir. Mereka diminta bercerita tentang tragedi dalam hidup mereka. Dari apa yang dijelaskan oleh korban, rata-rata mereka dijual oleh sanak keluarga, tetangga bahkan orang tuanya mereka sendiri. Menyedihkan ya?

Hari berikutnya aku diajak berkunjung ke tempat penampungan tenaga kerja. Aktivitas ini cukup mendadak. Untung aku punya waktu. Di tempat ini aku bertemu langsung dengan para calon Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang akan berangkat bekerja keluar negeri.

Oleh karena dadakan, Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) ini seperti kelimpungkan. Mereka mengulur-ngulur waktu sehingga membuat kami menunggu selama dua jam. Dua jam, lho! Lama kan? PJTKI ini beralasan ini dan itu. Padahal aku tahu, dalam dua jam itu mereka punya kesempatan untuk merapikan tempat penanampungan para TKI yang sebelumnya mirip kandang kerbau itu.

Aku bisa mengatakan penampunggan itu mirip kandang kerbau, karena coba bayangkan, satu kamar yang berukuran 3X3 hanya ada satu kasur besar. Ada 8 sampai 10 orang yang terpaksa harus tidur di kasur tersebut. Saat aku datang, kasur tersebut diangkat dan disenderkan ke tembok. PJTKI itu takut kalau aku dan tim melihat suasana sesungguhnya tempat tidur mereka. Dasar!

Naluri keingintahuanku begitu besar pada kehidupan sehari-hari mereka. Tidak heran, aku ingin sekali berbincang-bincang dengan para TKI itu. Aku minta mereka dikumpulkan di satu aula.

Awalnya aku tidak yakin pimpinan PJTKI ini mau mengumpulkan seluruh TKI. Aku maklum. Dengan dikumpulkan, pasti banyak uneg-uneg dari para TKI yang akan ketahuan dan itu bisa membuat PJTKI ini panas dingin. Ah, beruntunglah akhirnya permintaanku dikabulkan. Ada sekitar 100 orang TKI berhasil dikumpulkan di dalam aula.

Ada beberapa keganjilan yang membuatku semakin bertanya-tanya. Keanehan pertama, semua yang duduk di atas karpet, rambut mereka sudah dipotong pendek. Kenapa harus disamakan dipotong pendek rambut mereka ya? Jangan-jangan supaya tidak tertukar dengan PJTKI lain? Keanehan berikutnya, setiap aku tanya setu per satu TKI, mereka mengatakan berusia 20 tahun. Padahal yang aku lihat, (maaf) payudara mereka belum kelihatan. Begitu pula ketika aku tanya tamatan sekolah apa, mereka semua menjawab sama: tamatan SMP. Kok seperti sudah diatur ya?

Begitulah suasana yang aku temukan setiap berkunjung dari satu penampungan ke penampungan lain. Aku jadi tahu, bahwa mereka sebenarnya sudah terikat di dalam penampungan tersebut. Ketika masuk penampungan, mereka telah diposisikan sudah berhutang kepada agen dengan berbagai cara. Misalnya kalau ada keluarga yang meninggal dunia, maka calon TKI yang mau pulang harus meninggalkan deposit sebesar 5 juta rupiah. Kalau tidak punya uang, mereka boleh berhutang dan membarter dengan gaji mereka kalau sudah berhasil berangkat dan bekerja di luar negeri.

Belum lagi hutang-hutang mereka yang lain. Ketika mendapatkan training, mereka sudah dianggap berhutang. Begitu pula ketika sudah mendapat tempat menginap, test kesehatan, biaya visa kerja dan pasport, semua adalah hutang. Termasuk membeli kebutuhan sehari-hari yang mereka harus beli di koperasi.

Menurut teman-teman aktivis, kondisi menjeratkan para TKI jadi penghutang lazim disebut debt boundage atau jeratan hutang. Dengan kondisi begitu, mereka tidak akan bisa lepas dari PJTKI sebelum melunasi hutang-hutang mereka. Agen atau PJTKI nantinya akan memotong tiga sampai enam bulan gaji TKI setelah bekerja di luar negri.


(Sumber foto: dok google)

Selama berkunjung ke penampungan TKI, aku juga menyaksikan kesedihan para calon TKI yang masih belia. Bayangkan, di usia yang relatif masih kecil, mereka harus tinggal terpisah dari orangtua. Mending di penampungan hanya sebentar. Kalau tidak kunjung berangkat ke luar negeri, karena tidak ada majikan yang tertarik dengan wajah dan fisiknya, mereka akan lama tinggal di penampungan yang menurutku layak disebut sebagai kandang kambing itu.

Kasihan sekali. Saudaraku, Anda bisa bayangkan, sudah beberapa bulan di penampungan atau bahkan lebih dari setahun, lalu hutang bertumpuk, namun mereka tidak kunjung berangkat ke luar negeri. Ya gara-gara wajah dan fisiknya kurang menarik itu tadi. Padahal ada TKI yang baru dua minggu tiba di penampungan, bisa langsung berangkat dan bekerja di Malaysia. Itu semata-mata karena kulit putih dan wajah ayunya. Oalah!

(bersambung)

2 komentar:

  1. iya benar sekali,karena memang seperti itulah kehidupan ctki didlm sebuah penampungan,krn sempat aq jg mau kut jd seorg ctki,tp cuma seminggu aq dah merasa g betah,krn dlm stu qt sama sekali g dihargai,tp hanya tenaga qtlah yg di kuras

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.