Kamis, 24 Juni 2010

KALAU BUKAN KITA SIAPA LAGI?

Hari bumi merupakan komitmen untuk membuat atau menjadikan kehidupan lebih baik, tidak hanya lebih besar dan cepat, juga merupakan langkah nyata bukan solusi retorika belaka. Ini merupakan hari untuk menguji kembali etika/ tata susila kemajuan individu pada nilai nilai kemanusiaan. Ini merupakan hari untuk menantang pimpinan pimpinan hukum dan pemerintahan yang berjanji mengubah pada program program yang perlu perubahan jangka pendek. Hari ini merupakan hari untuk mencari hari esok. 22April mencari kehidupan masa depan yang berharga. 22 April untuk menentukan hari esok.

(Environmental Teach-In Adventiseament, New York Times, Januari 18, 1970)

Hari Bumi belum lama kita rayakan 22 April 2010 lalu. Kalau berbicara tentang bumi, aku dengan Dewi Hughes International Foundation (DHIF) juga sangat concern, sebagai ke-concern-anku pada pendidikan dan perempuan. Buatku, bumi yang kita pijak adalah wajib kita jaga. Tanpa menjaga bumi dan lingkungan kita, yakin kekhawatiran kita bahwa bumi akan rusak, pasti benar-benar terjadi.


Seorang pengunjung sedang membaca informasi bahaya efek rumah kaca.


Belakangan para pakar dan ilmuwan telah lama memastikan, bahwa naiknya suhu permukaan bumi dipicu meningkatnya emisi gas rumah kaca, terutama karbon dioksida. Sesuai data Laboratorium Pemantauan dan Diagnosis NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration), kadar CO2 naik 36 persen, dari 280 bagian permil (ppm) sebelum revolusi industri menjadi 378 ppm pada tahun 2005.

Naiknya kadar karbon dioksida, metana, dinitro oksida, hidrofluorokarbon, perfluorokarbon, dan sulfur heksaflourida di atmosfer Bumi memaksa radiasi panas matahari tetap terperangkap di atmosfer. Inilah efek rumah kaca yang menjadi biang pemanasan global.

“Menurut laporan Panel Ahli tentang perubahan Iklim (IPCC), suhu Bumi meningkat 0,7 derajat Celcius dalam 100 tahun terakhir,” kata Mubariq Ahmad, Direktur Eksekutif World Wildlife Fund (WWF) Indonesia. IPCC memprediksi, jika tidak ada upaya secara global untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, suhu Bumi akan meningkat hingga 5,8 derajat Celsius pada 2100 dibandingkan tahun 1900.

“Padahal, tidak banyak komunitas makhluk hidup yang mampu bertahan dengan kenaikan suhu 2 derajat Celcius saja,” kata Eka Melisa, Direktur Perubahan Iklim dan Energi WWF Indonesia. Pemanasan global juga ditengarai sebagai pemicu melelehnya daratan es di kutub yang menyebabkan naiknya permukaan air laut.

Perubahan volume dan suhu air laut memicu terjadinya perubahan iklim secara gradual. Naiknya suhu permukaan Bumi menyebabkan naiknya uap air di atmosfer. “Tidak heran jika saat ini sering terjadi hujan salah musim dan badai semakin besar, seperti Katrina yang melanda wilayah AS,” lanjut Eka.




Lapisan es di Antartika dan Greenland terus menipis sehingga mengganggu kehidupan biota di sana. Naiknya suhu air laut juga menyebabkan pemutihan karang yang terjadi secara luas di seluruh bagian dunia. Di Indonesia, fenomena ini jelas terlihat di sekitar Kepulauan Seribu dan Bali Barat.

Menurut Eka, jika kenaikan kadar CO2 mencapai batas 550 ppm, sebagian besar makhluk hidup mungkin tidak akan bertahan di Bumi. Kekeringan atau banjir bandang karena perubahan iklim yang ekstrim atau musim yang tidak teratur akan memicu berbagai macam penyakit, kelaparan, dan kerusakan besar-besaran di muka bumi.

Nah, kalau kita sudah punya sumber berita dan tahu bahwa kita harus menjaga bumi, harusnya kita berbuat sesuatu, ya tidak? Berbuat sesuatu tidak harus melakukan lompatan yang besar. Mulailah dari yang sederhana. Membuang sampah, misalnya.

Aku dan barangkali Anda juga pernah melihat, banyak orang yang masih membuang sampah sembarangan. Bukan cuma di kali atau sungai, tetapi di jalan raya. Pelakunya pun bukan cuma dari kalangan menengah ke bawah, tetapi mereka yang berpendidikan dan berada di dalam mobil mewah. Mereka –yang berpendidikan ini- dengan sengaja membuang tisu atau kulit kacang di tengah jalan. Yang paling sering puntung rokok. Saudaraku, jalan bukan tempat sampah!


Aku salut dengan mereka yang menggunakan sepeda sebagai kendaraan dalam melakukan aktivitas mereka.


Itu baru soal sampah, belum soal emisi gas buang yang dikeluarkan knalpot kendaraan bermotor. Makanya aku salut sekali pada mereka yang tergabung dalam komunitas bike to work (B2W). Mereka ini adalah pendekar-pendekar lingkungan. Meski jumlah mereka belum banyak, namun mereka sudah melakukan hal yang sederhana untuk menjaga bumi ini dari global warming.

Bagaimana dengan Anda? Apa yang sudah Anda lakukan pada lingkungan Anda? Yuk, kita sama-sama jaga lingkungan kita agar bumi ini tidak semakin memburuk. Kalau bukan kita lantas siapa lagi yang mau peduli?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.