Kamis, 12 Agustus 2010

I CHOOSE TO BE HAPPY!

Pendapat bahwa harta yang lebih besar, terlepas dari apa pun jenis harta itu, sudah dengan sendirinya mendatangkan kepuasan atau kebahagiaan adalah pendapat yang keliru. Tidak ada orang, tempat, atau benda yang bisa memberi kebahagiaan kepada kita. Mungkin mereka memberi alasan perasaan bahagia atau puas, tapi kegembiraan hidup datang dari batin.

(Genevieve Behrend, buku Your Invisible Power)

Seringkali kita merasa hancur, takkala apa yang kita miliki lepas dari genggaman kita. Kita juga akan merasa gagal, kala sesuatu tidak berjalan sesuai dengan harapan kita. Itulah kondisi yang belakangan ini tengah saya alami.

Saya jadi mudah sekali terenyuh dan bahkan menangis untuk sebuah kesedihan, yang seharusnya bukan menjadi porsi saya. Misalkan saja, ketika seorang perempuan bercerai dari suaminya, dimana suaminya itu menikah lagi dengan perempuan simpanannya dan menerlantarkan anak-anaknya, saya menangis.

Saya menjadi sedih, takkala perempuan itu harus bekerja keras, membanting tulang untuk menghidupi anak-anaknya. Ditambah cobaan lain, yakni kisah tentang penyakit akut yang dideritanya sejak si ibu masih remaja. Penyakit yang membuat kondisi kesehatannya menjadi tidak stabil. Yang membuat emosinya semakin drop. Saya turut merasakan kesedihan-kesedihan itu.

Saya menyaksikan si ibu menangis. Batinnya yang menjadi rapuh, emosional, dan kemudian melakukan tindak kekerasan kepada anak-anaknya. Sebuah buntut dari ketidakberdayaan mengelola emosinya yang tidak stabil itu. Menyedihkan sekali bukan? Apalagi kalau mengingat anak-anaknya yang masih kecil-kecil itu. Mereka menjadi takut atas prilaku sang ibu.

Beberapa saat saya bisa mengajak si kecil bermain dan menghentikan tangisnya. Sebab, saya tak ingin mereka menjadi korban dari prilaku sang ibu. Namun, itu belumlah cukup, karena saya ingin membantu anak-anak yang tak berdosa ini dan memberi kehidupan yang lebih baik. Saya ingin mengajak mereka tinggal bersamaku, tetapi si ibu selalu menolak dan mengatakan:

”Biarkan kami miskin dan tidak berdaya. Yang penting kami bisa bersama-sama dan bahagia”.

Saya menjadi terperangah.

“Bahagia katanya? Bahagia untuk siapa?” tanyaku dalam hati.



Saat pulang ke rumah dan mengingat lagi peristiwa tadi, saya tidak dapat menahan air mata. Saya menangis terisak-isak. Sungguh, saya tidak mengerti jalan pikiran orang-orang seperti itu. Mereka bilang bahagia, tetapi ada anak-anak yang menjadi korban.

Kekasihku biasanya tertawa geli melihatku. Ia pasti berpikir, buat apa memikirkan orang lain yang tidak mau dipikirkan? Biasanya ia selalu menggodaku. Hebatnya, godaannya membuat saya kembali “normal” dan saya tertawa kembali.

“Itulah kalo cinta yang terikat oleh materi,” ujar kekasihku yang juga menjadi sahabat terbaik hidupku ini. “Setiap orang sudah menjadi bagian penting dari alam semesta. Setiap orang telah mengambil perannya sendiri dari lingkaran keseimbangan alam semesta. Termasuk kamu. Kamu juga adalah bagian dari lingkaran itu.”

Lanjut kekasihku ini, kita harus memilih apakah mau berbahagia atau lebih suka bersedih atas keadaan mereka. Memang, hidup adalah sebuah pilihan. Menjadi bahagia adalah sebuah pilihan. Apakah kesedihan kita akan megubah sesuatu? Apakah air mata dan kesedihan itu akan menjadi baik untuk jiwa dan raga kita? Itu harus kita renungkan. Di saat kita terlarut, menangis, marah dan bersedih, hitunglah berapa banyak sel dalam tubuh kita yang rusak? Camkanlah dampak bagi kesehatan kita sendiri. Rugi bukan?

Saat kita menarik kesedihan, masuk ke dalam tubuh dan jiwa kita, maka serentetan kesedihan menanti. Kecemasan yang kita biarkan, akan merajalela dan itu akan menarik lebih banyak kecemasan. Kenapa kita tidak katakan saja, aku bersyukur boleh melihat dan merasakan kondisi ini. Namun, satu-satunya kebaikan yang aku harus lakukan adalah, tidak ikut tercebur dalam kesedihan dan kesulitan itu.

Ya, saya harus memilih untuk membubuhkan lebih banyak rasa syukur, sehingga lebih banyak nikmat yang saya rasakan. Saya lebih memilih untuk membanjiri rasa bahagia setiap saat dalam hidup, terlepas dari apapun peristiwa itu. Dengan begitu, saya yakin akan datang lebih banyak kebahagiaan. Saya pun memilih untuk mengasihi ketimbang ikut-ikutan menangis. Sebab, jika ikut-ikutan bersedih, kita jadi lupa tindakan itu akan membuat saya justru tidak mengasihi diri sendiri.

Saya jadi ingat masa-masa kuliah dulu tahun 90-an. Waktu itu saya baru saja mengenal istilah community service atau bahasa Indonesia-nya kerja sosial. Bersama Yayasan Mata Hati yang didirikan Tante Marini, Shelomitha dan Rama Soeprapto, saya selalu mengunjungi anak-anak sakit di Rumah Sakit Cipto Mangukusumo (RSCM) seminggu sekali.

Saya selalu membawakan buku cerita, balon, alat-alat menggambar, serta boneka tangan. Saya datang ke bangsal-bangsal dan menghibur mereka yang sakit itu, dengan membacakan dongeng atau sekadar memainkan boneka tangan. Harap maklum, mereka butuh dihibur, karena mereka harus tinggal cukup lama di bangsal itu. Sebab, kebanyakan dari mereka menderita leukimia dan talasemia, dimana beberapa di antara mereka sudah berbulan-bulan dirawat secara intensif.

Di awal-awal saya datang, ada orangtua pasien memelukku sambil menangis. Mereka pun berkeluh kesah tentang anak mereka, tentang nasibnya. Saya mengerti apa yang mereka rasakan. Tak heran, saya rela duduk di sebelah mereka, sambil ikut memeluk dan mendengarkan kisah mereka. Di akhir kisah, seringkali saya meneteskan air mata. Saya ingat betul saat itu, ketika Tante Marini (Ibunda penyanyi Shelomitha) melihat kondisi saya yang ikut larut dengan kisah sedih itu, tiba-tiba mencolek tanganku. Ia memberi isyarat untuk mengikuti beliau berjalan ke pojok ruangan. Sepertinya ada sesuatu yang ia ingin sampaikan.

“Hughes sayang, kita datang ke sini itu untuk meringankan beban mereka. Bukan ikut-ikutan menagis,” tutur Tante Marini lembut, tanpa bermaksud marah pada saya. “Dengan menangisi apa yang menjadi beban mereka, itu akan menjadikannya beban hidup kita. Bergembiralah! Sebab, kegembiraan itu yang membuat kita berada di sini. Mereka butuh itu”.

Saya tersadar. Saya ingat betul momentum itu, sampai suatu hari suami saya mengingatkan saya kembali. Bahwa dalam hidup ini saya punya peran. Punya tugas. Saya boleh memilih tugas yang saya inginkan. Setelah dipikir, saya memilih untuk mengambil tugask memelihara rasa gembira dan senang. Dua hal itu sudah pasti akan menaikkan semangat mereka. Semangat para pasien atau orangtua mereka.

Dengan memelihara gembira dan senang, saya bisa mengarahkan pembicaraan kami bukan terfokus pada penyakit yang mereka derita, tetapi justru kepada harapan-harapan yang mereka inginkan. Tentunya harapan positif. Tentu saja saya seperti harus menjadi moderator ulung. Moderator yang mampu membawa setiap pembicaraan, kembali ke pembicaraan yang gembira, positif dan membuat mereka meresa berubah menjadi lebih sehat.

Yap! Saya memilih untuk menyirami lebih banyak rasa syukur. Dengan begitu, saya akan banyak merasakan kenikmatan. Saya memilih untuk membubuhkan kebahagian setiap saat dalam hidup ini, terlepas dari apapun peristiwa itu. Sebab, hal itu akan membuatku semakin yakin akan datang lebih banyak kebahagiaan. Saya memilih untuk mengasihi dari ketimbang terseret pada kesedihan, ikut-ikutan menangis. Sebab, jika itu saya pilih, itu sama saja saya tidak mengasihi diri sendiri. So I choose to be happy!

Kalo ingat serangkaian peristiwa ini, saya seperti tersadar dan kembali membakarkan semangat saya untuk mengajak para remaja maupun mahasiswa untuk mau melakukan kerja sosial. Nah, kalo ada teman-teman yang ingin merasakan kebahagiaan seperti yang kini saya pilih, jangan ragu-ragu bilang sama saya. Saya bisa membuatkan pelatihan di Taman Bacaan@Mall (TBM@Mall) atau di Balai Belajar dan sharing pada Anda. Dan kita akan merasakan kebahagiaan itu bersama. Anda tertarik?

1 komentar:

  1. Mbak Hughes,

    Saya tertarik dengan konsep Balai Belajar Bersama dan TBM@Mall. Kapan ngadain lagi pelatihan? Btw, butuh dana besar banget gak sih buat bikin TBM@Mall,mbak? Please kasih masukan ya, mbak Hughes, ke theKamals@ymail.com

    Makasih ya, mbak, sukses dan bahagia selalu!

    Kind regards,
    Naz Kamal
    0813-1617-7052 / 021-4174-3793

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.