Sabtu, 17 Juli 2010

KENAPA TBM HARUS DI MALL?

Saya senang pertanyaan ini muncul. Sebab, itu berarti apa yang saya lakukan telah menggugah hati anda untuk angkat bicara. Tentang apa lagi kalo bukan tentang pemikiran Anda yang jauh lebih spektakuler, dari apa yang telah saya lakukan.

Memang anyak yang berpikir, kenapa di mall? Kok tidak di ruang publik yang lain? Misalnya di terminal, stasiun kereta, rumah sakit, kelurahan, sekolah, PKBM atau tempat lain?

Saya senang banyak orang berkomentar. Artinya kami berhasil mengajak banyak orang tergerak memberi sumbangan pikiran untuk pengentasan buta aksara di Indonesia. Lebih dari itu : SETIAP ORANG INDONESIA AKAN MENGAMBIL PERAN DALAM PENGENTASAN BUTA AKSARA DAN IKUT MENCERDASKAN BANGSA.

Sebuah teori komunikasi mengatakan: sebuah diskusi atau percakapan bisa menjadi lebih berguna apabila kawan diskusi kita mempunyai rasa antusias dan penasaran (biasanya dengan banyak mengajukan pertanyaan dan gagasan baru). Nah, sekarang saya jadi bersemangat untuk memberi penjelasan yang sepertinya lumayan panjang dan lebar, karena saya yakin, anda berminat untuk tahu lebih banyak dan mau ikut berperan aktif dalam upaya pengentasan buta aksara, ya kan?



Saya didampingi oleh ibu Lilik Sulistyowati (Kasubdit Pendidikan Perempuan Kementerian Pendidikan Nasional) di seminar yang diselenggarakan di Hotel Maharaja.

TBM memberi ruang baca dan meningkatkan minat baca

Sebenarnya saat ini, Kementrian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) -khususnya PNFI (Pendidikan Non Formal Informal)- telah menginisiasi dan mendanai hampir sekitar 6.000 TBM di hampir seluruh Indonesia, dimana letaknya di ruang-ruang publik di pelosok pedesaan, bahkan pedalaman. Ini baru satu Kementrian lho.

Kemendiknas menyediakan dana bantuan khusus untuk program TBM ini. Bayangkan, pada tahun 2009 saja, terdapat 759 juta orang dewasa buta huruf. Yang memprihatinkan, 2/3 diantaranya adalah perempuan. Menurut proyeksi, apabila tren seperti terus berlangsung, maka sedikitnya akan terdapat 710 juta orang dewasa buta huruf pada tahun 2015! Mengerikan bukan?

Ada kalimat bijak: kalau seorang laki-laki pintar, kita bisa menyelamatkan 1 orang laki-laki dan kalau seorang perempuan pintar, kita bisa menyelamatkan satu rumpun. Lho, kok bisa? Penjelasannya begini, kalau para ibu tidak bisa membaca, bagaimana kita bisa mencerdaskan anak-anak dan mengarahkan bangsa kita ke arah yang lebih baik? Bukankah membaca adalah jendela dunia, bukankah membaca juga yang diperintahkan oleh Tuhan kepada Nabi Muhammad pada wahyu-Nya yang pertama kali turun?

Banyak upaya telah dilakukan untuk pengentasan buta aksara. Sayangnya, setelah mendapatkan sertifikat melek aksara, banyak perserta kemudian kembali menjadi buta aksara, karena tidak terlatih membaca. Salah satu penyebabnya mereka tidak mendapatkan akses untuk membaca, buku atau bahan bacaan sulit didapat.

Meski TBM dan mobil perpustakaan keliling ada, hal tersebut tidak sertamerta menjadikan masyarakat jadi gandrung membaca. Banyak orang masih merasa tidak perlu membaca, karena merek cukup mendengar saja.

Kalau mau jujur, banyak orang Indonesia sebenarnya lebih suka mendengerkan dongeng daripada membaca dongeng, ya kan? Kita lebih senang menonton TV daripada membaca. Lebih suka menonton pertunjukan wayang daripada membaca buku tentang cerita wayang. Lalu apa dong upaya yang bisa kita lakukan agar orang merasa membaca adalah sebuah kebutuhan?



Lebih baik kita berbuat sesuatu, meski dianggap "kecil", daripada kita mengkritik tetapi tidak melakukan apa-apa.

Kita harus membuat langkah kreatif, dengan mengkampanyekan, bahwa membaca adalah sesuatu aktifitas bergengsi dan kini menjadi tren. Kalau tidak membaca tidak keren! Kalau duduk menunggu sambil membaca, berarti tidak intelek dan keren.

Saya analogikan bagaimana dahulu hanya orang-orang the have (golongan mampu) yang menggunakan handphone, lalu kelas menegah mengikuti, lalu sekarang semua pakai handphone. Tidak cuma kaum the have, pengamen, abang becak dan penjual sayur pun kini memakai handphone. Hal tersebut menunjukan, ada sebuah trend yang berhasil dibangun. Apakah itu? "Hari gini ngga punya handphone???? Ke laut aja!"


Mall sebagai pusat peradaban dunia modern dan Trend setter.

Sebuah artikel di koran Kompas menulis, mall telah menjadi pusat peradaban dunia modern. Saya setuju, bagaimana tidak. hampir semua kegiatan berpusat di mall. Tidak cuma belanja, tetapi arisan, kumpul keluarga, ibadah, dan bahkan sekolah dan kursus, banyak yang mempergunakan mall sebagai tempat.

Sering kali orang pergi ke mall, kebetulan sambil menunggu salah satu anggota keluarga yang berbelanja, rela membaca sambil berdiri di toko buku Anak-anak juga hanya bisa bermain di pusat-pusat mainan yang musiknya hingar bingar dan mengajarkan kekerasan.

Rasanya hampir semua kalangan datang ke mall. Kalau begitu, kenapa tidak kita buat taman bacaan di mall saja? Itulah awal gagasan itu terbentuk. Taman bacaan itu kemudian kita namakan TBM@Mall supaya lebih keren. Tujuannya semata-mata untuk merangsang minat baca, menyediakan fasilitas membaca gratis, dan berujung menciptakan tren membaca dari kalangan menengah keatas dan tentunya akan berdampak ke kelas masyarakat bawah.

Kelihatannya upaya kami berjalan baik. Bukan hanya pengunjung mall yang datang dan membaca cuma-cuma, tetapi bapak Satpam dan petugas cleaning service mall juga ikut-ikutan membaca di TBM.

Saya punya cerita, suatu hari di hari libur, saya menjumpai seorang cleaning service yang datang bersama seluruh anggota keluarganya ke mall. Mereka datang bukan untuk belanja, tetapi jalan-jalan dan membaca!

"Tuh, benar kan bu, di sini boleh baca gratis sepuasnya, kagak diitung jam-jam an," begitu ucapan keluarga cleaning service itu yang saya dengar langsung dari mereka.

Saya bahkan sempat ngobrol dan menemani anak-anak mereka membaca. Teman, air mata saya hampir tidak terbendung. Ternyata bukan cuma membaca, rasa percaya diri, dan kebahagiaan keluarga tersebut, juga bisa saya rasakan. Tidak heran mereka berjam-jam nongkrong di TBM saya.

Saya jadi teringat kisah ketika saya mengkampanyekan pendidikan alternatif homeschooling atau yang dulu dikenal dengan Pendidikan Kesetaraan atau Kejar paket A, B dan C. Ketika bicara Paket A, yang setara legalitas nya dengan Sekolah Dasar, Paket B setara SMP dan paket C setara SMA, orang tidak bergeming. Menganggap itu untuk kalangan bawah dan tidak mampu.

Lalu kami mendirikan e- Homeschooling di Pusat perbelanjaan mewah di kelapa Gading-La Piazza. Di luar dugaan, kami punya banyak murid dan mereka senang bersekolah di mall. Toh, saat ini banyak anak kalau bolos sekolah pergi ke mal, kenapa tidak sekolahnya yang kita pindahkan ke mal?

Hebatnya, di mal itu tidak ada pagar tinggi dan satpam yang menjaga pintu gerbang sekolah. Murid-murid saya tidak ada yang datang telat apalagi bolos. Maklum, mal itu menyenangkan buat mereka. Sekolah pun jadi ikut-ikutan menyenangkan.

Yang sekolah di e- Hugheschooling juga tidak tanggung-tanggung. Ada para selebriti cilik dan remaja, anak-anak berbakat, dan bahkan anak-anak dengan kendala kesehatan. Lalu homechooling menjadi pembicaraan dan dianggap trend baru. Kami gembira upaya kami berjalan baik!

Sekarang kalau buka halaman iklan koran, anda akan temukan banyak orang mengiklankan homeschooling milik mereka. Orang menganggap ini sekolah bergengsi dan punya kelas. Anak-anak yang homeschooling boleh bangga mereka memilih untuk homechooling karena banyak orang sudah paham trend ini.

Saya ingin budaya baca juga demikian. Kita mulai dengan membuat trend, kalau pergi ke mall tidak nongkrong di tempat baca, belum dianggap anak gaul atau keluarga berpendidikan. Kalau nunggu antrian tidak sambil baca, tidak keren. Kalau duduk di bus tidak sambil baca, juga tidak sesuai tren. Sebab, sekarang membaca dimana saja dan kapan saja SUDAH JADI TREND! Masak kita ketinggalan?

Saya membayangkan virus baca ini menyebar sampai ke TBM yang ada di desa-desa. Mari kita membudayakan membaca. Sebab di kota dan di mall-mall, sedang mewabah budaya baca. Masak kita ketinggalan trend terbaru?

Bantu kami yuk! Kita bergandeng tangan ikut menjadi relawan di TBM-TBM yang paling dekat di kota anda. Tidak harus di mall, tetapi bisa pula di stasiun kereta, di sekolah, dan di pasar. Di rumah juga boleh.

Gramedia dengan senang hati memberi bantuan buku-buku untuk anda yang mau membuat TBM. Nggak percaya? Coba deh cari informasinya ke Gramedia atau ke Kemendiknas. Kalau tidak mau membuat TBM, Anda bisa juga sumbangkan buku-buku berkualitas yang sudah anda baca seperti yang telah dilakukan Gramedia, Percetakan Akur dan banyak lagi.

Let's WALK THE TALK! Tidak boleh ngomong dan complain doang. Katakan dengan melakukan sesuatu! Kita buat perubahan untuk Indonesia tercinta! Kami tunggu di TBM @ Mall ya



all photos copyright by Brillianto K. Jaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.