Kamis, 08 Juli 2010

PRT ITU BUKAN "PEMBANTU", TETAPI "PEKERJA RUMAH TANGGA"

Barangkali Anda pikir aku aneh. Tetapi ini yang aku lakukan, setelah tiga bulan belajar tentang trafficking. Apakah itu? Yakni memperdalam studi trafficking dengan cara pergi ke dapur untuk berjumpa dengan pembantu dan sopirku.

Pada tahun 2003, aku sempat punya tiga orang pembantu rumah tangga (PRT) dan seorang sopir. Sopirku ini sudah tua. Usianya sudah 50 tahunan. Rambutnya sudah memutih. Sementara dua pembantuku berusia 20 tahun dan 17 tahun. Nah, yang membuatku agak shock, salah seorang PRT-ku, usianya baru menginjak 14 tahun. Awalnya aku kaget, karena belum pernah mengalami mendapat PRT dengan usia muda seperti ini.

Aku pun bertanya-tanya, apakah aku termasuk orang yang mempekerjakan anak di bawah umur? Kalo begitu, aku termasuk menyetujui trafficking dong? Ini ironis sekali dengan statusku sebagai Duta Anti-Trafficking. Oh, tidak!

Aku bingung. Padahal PRT yang ”masih kecil” ini baru saja diantarkan oleh agen ibu mertuaku. Aku mengalami dilema. Apakah aku harus pulangkan ke desa? Kalo aku pulangkan ke desa dengan alasan tidak mau mempekerjakan anak di bawah umur, lalu apa yang akan anak ini kerjakan di desa? Sekolah lagi pasti keluarganya sudah tidak sanggup. Paling-paling orang tua mereka akan menikahkan anak ini di usia yang masih muda, dimana ia belum matang secara fisik dan mental.




Kalo belum matang, anak yang menikah di usia muda pasti akan menimbulkan persoalan baru, yakni perceraian. Sudah banyak kasus perceraian yang melibatkan anak-anak usia muda, dimana mereka baru menikah beberapa bulan lalu bercerai. Kemudian mereka menjadi janda muda.

Begitu menjadi janda muda, mulai timbul persoalan baru. Gunjingan masyarakat terhadap perempuan. Janda muda ini akan risih. Ujung-ujungnya, perempuan yang berstatus janda akhirnya mau menerima tawaran pekerjaan apa saja, asal bisa keluar dari desa. Finnally, mereka menjadi PSK atau TKI illegal. Sungguh ironis bukan?

Kepalaku berputar. Pikiranku yang satu mengatakan, aku tidak boleh memulangkan PRT yang masih kecil itu. Yang satu lagi memintaku segera memulangkan PRT ke kampung. Ah, pusing! Akhirnya persoalan ini akan angkat ke dalam sebuah pertemuan dengan teman-temanku dari Departemen Pendidikan Nasional dan kementrian Pemberdayaan Perempuan.

Dari diskusi itu aku mendapat jalan keluar dari permasalahanku. Beberapa aktivis tidak setuju dengan panggilan pembantu. Mereka bukanlah pembantu. Mereka adalah para pekerja rumah tangga. Jadi, kata ”P” dalam PRT bukan dari singkatan ”Pembantu”, tetapi ”Pekerja”. Oleh karena itu, sebagai pekerja, maka ia memiliki beberapa hak. Hak ini sebenarnya harus diterima oleh para pekerja rumah tangga sebagaimana pekerja yang ada di kantor. Misalnya, ada waktu kerja yang sesuai dengan standard, yaitu 8 jam sehari, lalu berhak mendapatkan jam istirahat, gaji yang sesuai, dan selalu mendapatkan jatah libur dalam seminggu.

”O, begitu,” jawabku sambil mengangguk-anggukan kepala.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.