Sabtu, 17 Juli 2010

KALO JUAL KAMU TIAP BULAN KAN BISA "NGALAP" HASIL

Gadis belia itu terisak. Namun sang bapak tak peduli. Ia tetap berjalan meninggalkan gadis belia itu dibawa sang paman. Sementara gadis beli tetap menarik baju bapaknya yang tetap berjalan tanpa merasa bersalah.

Bapak! Bapak! Tolong! Jangan jual aku!
Kalau Bapak punya kambing di kampung, kenapa bapak pilih jual aku seharga delapan ratus ribu rupiah?
Kenapa bapak tidak jual saja kambing bapak?

Hus! Diam!
Kamu anak perempuan ngga boleh ngelawan bapakmu!
Kalau kambing dijual, paling dipotong.
Kalau jual kamu, tiap bulan kan bapak bisa nengok kamu, sambil ’ngalap’(memetik) hasil.
Sudah sana! Ikuti pamanmu. Dia akan memberi kamu kehidupan yang lebih layak daripada di kampung.


Sang paman lalu menyeret gadis berkepang dua itu. Sambil menjawil dagu gadis 12 tahun itu, si paman berbisik...

Heh, kamu masih perawan to nduk?

Itulah penggalan pementasan drama berjudul The Survivors yang dipentaskan oleh organisasi bernama Bandung Wangi. Barangkali anda bisa menebak cerita drama tersebut. Yap! Drama ini berkisah mengenai drama kehidupan para korban perdagangan manusia serta survivor-nya. Survivor adalah mereka yang selamat dari perdagangan manusia ini.

Para pemain drama ini adalah para pekerja seks yang masih aktif bekerja maupun yang sudah menjadi aktivis. Yang menarik buatku, selain pemain dan ceritanya, saat itu menyaksikan pementasan drama mengenai trafficking ini, di sebelahku adalah seorang germo atau dikenal dengan istilah mucikari.

Sambil mengerak-gerakkan kipasnya karena kepanasan, germo itu melihat pementasan tanpa rasa malu atau dosa. Setiap ada adegan yang lucu, ia masih sempat tersenyum, bahkan tertawa. Sementara setiap ada adegan sedih, ia biasa-biasa saja. Ia lebih sibuk dengan kipas berwarna merahnya.

Aku yang duduk di sampingnya selalu berusaha mencuri pandang. Harap maklum, aku penasan dengan isi hatinya. Kok bisa-bisanya ia ‘kuat’ melihat pementasan itu? Padahal pementasan itu kan juga mengkritik dirinya yang termasuk sebagai orang yang berprofesi sebagai penjual manusia? Tidak heran aku sebut dia juga sebagai ‘manusia berdarah dingin’

Siang itu memang panas sekali. Di dalam gedung pun begitu. Penyejuk udara yang sekiranya hidup, siang itu tidak berfungsi. Jangan heran kalo aku juga kepanasan. Namun aku tidak begitu kuat mengipaskan kertas yang kubawa, karena angin dari kipas si germo sedikit menerpa wajahku. Angin itu juga mengantarkan aroma minyak wanginya.

“Wangi sekali!” pikirku dalam hati.

Siang itu aku memenuhi undangan mbak Anna yang menjadi ketua organisasi Bandung Wangi ini. Ia menggelar pertunjukan drama berjudul The Suvivor ini di Gelanggang Remaja, Bulungan, Jakarta Pusat.

Tidak seperti germo di sebelahku, aku tidak lagi perduli dengan panasnya ruangan itu. Kisah yang ditampilkan malah membuatku berlinang air mata. Bukan hanya karena jalan ceritanya yang luar biasa, tapi karena pemainnya. Mereka adalah para survivor atau korban selamat dari trafficking. Mereka hebat, luar biasa!

Para survivor ini cukup tegar dan sangat profesional memainkan peran dalam drama kehidupan mereka sendiri di atas panggung. Aku terus sibuk menyeka air mata. Cengeng? Aku pikir tidak. Tangisanku bukan, karena sedih, malah justru wujud dari apresiasiku pada mereka yang (sekali lagi) tegar dan luar biasa.

Aku bisa membayangkan, alangkah beratnya penderitaan perempuan-perempuan itu. Para survivor itu. Sambil membersihkan air mata, sesekali aku melirik germo yang ada di sebelahku. Dari hati yang positif, aku memberi kesan baik pada germo ini. Kenapa? Sebab, ia mengijinkan “anak-anak”-nya meluangkan waktu untuk latihan. Mereka masih diizinkan melakukan pementasan, namun setelah selesai, para pekerja seks komersial ini tetap harus melayani para pria hidung belang.

Namun aku tetap heran dengan germo ini, germo yang aku sebut sebagai “manusia berdarah dingin”. Dimana hati nurani orang ini ya? Kok bisa-bisanya ia duduk di sini tanpa perasaan, menyaksikan anak-anak belia itu beraksi?

Aku mencuri-curi pandang lagi, melirik gelang-gelang emas melingkar di pergelangan tangannya. Aku juga melihat kutek bermerah yang dipoles di seluruh kukunya. Lalu rambutnya yang disasak, eyeshadow yang tebal, dan tidak ketinggalan lipstik merah tebal. Aku terus penasaran dengan apa yang ada di hatinya. Apakah dia sadar dengan pekerjaannya ini? Sebagai germo?

“Tuhan, berilah petunjukmu untuk merubah orang-orang seperti dia,” ujarku dalam hati.

Usai pertunjukan aku sempat berfoto dengan para pemain. Mereka wangi-wangi sekali. Beberapa di antara mereka memeluk dan menciumi pipiku. Ya, barangkali mereka berpikir aku tetaplah artis yang sering membawakan acara, salah satunya Mimpi kali Yee yang pernah ditayangkan di SCTV. Seperti juga fans-fans di acara itu, tiap berjumpa dengan idolanya, pasti langsung dipeluk, diciumi, dan kemudian minta difoto. Wah, sepertinya aku merasakan seperti fans yang sedang bertemu dengan idolanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.