Rabu, 23 Juni 2010

TAK PERCAYA JADI DUTA ANTI-TRAFFICKING INDONESIA

Januari 2003,

Kemang Utara 31, Jakarta Selatan

Siang itu sepucuk surat berlogo burung Garuda iba di rumahku. Terus terang aku kaget dan sedikit takut. Pasalnya, selama ini aku merasa tidak punya urusan dengan negara. Kalau sampai dikirimi surat seperti itu, biasanya pasti karena ada teguran atas prilakuku yang barangkali tidak sesuai dengan pemerintah. Dag dig dug juga rasanya.


Meski jantung rasanya mau copot, surat itu lantas kubaca. Anda tahu isi surat itu? Begini isinya...


Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia menugaskan anda menjadi Duta Nasional Kampanye penghapusan perdagangan Manusia atau Duta Anti-Trafficking.


What? Aku tertegun. Aku tak tahu apa yang terjadi. Trafficking? Apa pula trafficking? Kok rasa-rasanya masih asing buatku. Apakah ada hubungannya dengan traffick light? Apakah aku sudah melakukan sebuah pelanggaran lalu lintas? Tapi mengapa yang mengirim suratnya Kementrian Perempuan, bukan Kepolisian. Dengan kebingungan itu, aku perlihatkan surat itu pada suamiku.


”Mending kita telepon saja,” usul suami saya.


Sahabatku, itulah awal kisah keterlibatanku pada dunia kejahatan perdagangan manusia ini dimulai. Dimana terminologi yang lazim digunakan saat ini adalah trafficking.


Ira -seorang aktivis buruh yang mewakili organisasi buruh Internasional atau dikenal dengan nama IInternational Labour Organisation ( ILO)- dan beberapa teman akhirnya mempertemukan saya dengan Deputi Menteri Pemberdayaan Perempuan. Tujuannya tidak lain adalah menindaklanjuti penunjukan saya sebagai Duta Anti-Trafficking.

”Mbak Hughes ngga harus bilang iya kok,” kata Deputy Menteri Pemberdayaan Perempuan memulai. pembicaraan "Kami tahu, isu ini belum banyak dikenal orang (maksudnya isu tentang trafficking). "Padahal human trafficking adalah kejahatan International terbesar setelah perdagangan senjata dan narkoba."


Saya mengangguk-angguk, karena baru mengerti begitu luar biasanya kejahatan trafficking. Sampai disejajarkan dengan perdagangan senjata dan narkoba. Mendengar itu saya bangga sekali. Betapa tidak, dengan menjadi Duta Anti-Trafficking, jelas saya diajak untuk mencegah kejahatan trafficking ini. Sebuah aktivitas yang luar biasa bukan?


"Negara sangat membutuhkan seorang juru bicara untuk bisa mengkampanyekan isu ini, supaya didengar, dipahami, dan diwaspadai oleh masyarakat Indonesia," tambah Deputy Menteri Pemberdayaan Perempuan.


Wow?!


Aku bersama ibu Menteri Pemberdayaan Perempuan RI 2004-2009 Dr.Meuthia Hatta.






Lanjut Deputy Menteri Pemberdayaan Perempuan, pengangkatan Duta Trafficking ini merupakan rangkaian gerakan anti-trafficking di seluruh dunia. Pemerintah Indonesia merespon positif gerakan ini dengan mencanangkan Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Perdagangan Manusia yang dicanangkan oleh Presiden RI Ibu Megawati Soekarnoputri.


"Ke depan kami akan mengajak mbak Hughes untuk ikut memperjuangkan rancangan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang."


Aku bengong. Kepalaku pusing. Aku seruput capucino panas yang telah aku pesan dan ada di depanku sambil berpikir keras. Di otakku terdapat tanda tanya besar, dimana tanda tanya itu mengarah pada satu hal: POLITIK.


Sahabatku, aku tidak mau masuk dunia politik! Buatku dengan menjadi Duta Trafficking, itu sama saja masuk ke dunia politik. Aku ngeri! Aku juga tidak terlalu suka bekerja dalam lingkup birokrasi. Oh my God! dunia yang akan aku geluti nanti (trafficking) sama sekali berbeda dengan dunia yang sudah aku geluti selama ini, yakni dunia entertainment.


Bisa tidak ya aku masuk ke dunia yang baru ini?

”Betul mbak Hughes!” ucap Vira dari International Centre for Labour Solidarity (ACILS) bersemangat. ”Kalau pun akhirnya mbak Hughes bilang iya, you don’t have to do it sampai mbak Hughes yakin, bahwa peran ini sangat penting dan harus diambil dengan komitmen tinggi."


Oalah! Kok kayak maksa begitu ya?


Lanjut Vira, nanti aku akan diberikan beberapa training dan visits dalam rangka mengenal lebih dekat dengan masalah trafficking ini. Agar bisa mendapatkan gambaran yang sejelas-jelasnya tentang fakta yang ada di lapangan. Setelah itu, konon katanya aku akan diberikan simulasi khusus untuk melakukan kampanye, pidato dan juga komunikasi dengan berbagai media, dimana semua itu akan dilatih langsung oleh pakar media dari Amerika.


Wow?!


Meski terkagum-kagum dengan promosi Vira, aku tetap bingung. Training? Jam berapa training-nya? Kan aku lagi banyak kerjaan, shooting aja sehari bisa dua acara, sampai lima episode pula. Jam berapa aku bisa keluar rumah? Sekarang aja hidupku cuma kerja dan kerja.


Sahabatku, aku ini tidak pernah boleh keluar rumah sendirian. Jangankan keluar rumah dan nyetir mobil seperti dulu, menjengguk mama saja aku tidak punya kesempatan. Gimana caranya aku bisa keluar rumah untuk training dan aktivitas sosial? Bergaul sama temen-temen untuk sekedar minum kopi aja aku tidak pernah.


Badanku pasti akan copot kalau harus ikut training lagi. Wong shooting-ku saja sangat padat. banget . sudah begitu, terbayang olehku kadangkala aku masih harus show di akhir minggu. Terus kapan aku bisa istirahat?


(bersambung)


1 komentar:

  1. Selamat malam, Mbak Hughes

    Saya Christy, mahasiswi Hubungan Internasional Universitas Parahyangan, Bandung

    Sekarang saya sedang menyusun skripsi yang mambahas tentang upaya sebuah NGO dalam memerangi dan menghentikan praktek Human Trafficking di Indonesia.
    Saya sudah membaca berbagai artikel tentang DHIF, dan tertarik untuk menjadikan DHIF sebagai objek penelitian saya.
    Apabila DHIF mengizinkan dan tidak keberatan, adakah syarat yang harus saya penuhi?

    Saya harap Mbak Hughes berkenan membalas pesan saya ini.
    Atas perhartian Mbak Hughes, saya ucapkan terima kasih

    Salam,
    Christy

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.